Senin, 12 Desember 2011

situs bersejarah di jawa barat


Prasasti Batu Tulis Ciaruteun
Daerah :Kabupaten Bogor
http://disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fimages/PrasastiBatuTulisCiaruteun.jpg
Terletak di ketinggian  320 m dpl, lokasi Prasasti Batu Tulis Ciaruteun terdiri dari tiga buah prasasti, yaitu Ciaruteun, Kebon Kopi (Tapak Gajah), dan Muara Cianten, serta tinggalan megalitik antara lain batu dakon, menhir, batu datar arca megalitik.
Prasasti Ciaruteun diketahui berdasarkan laporan pimpinan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada tahun 1863. Prasasti ini ditemukan dekat Sungai Ciaruteun, kira-kira 100 meter ke arah hilir muara Cisadane. Menurut informasi, ketika terjadi banjir pada tahun 1894, prasasti tersebut bergeser sehingga tulisannya terbalik menghadap ke dasar sungai. Selanjutnya pada tahun 1903, letaknya diperbaiki. Pada tahun 1987, prasasti ini dipindahkan dari tengah Sungai Ciaruteun ke daratan (di atas sungai) ± 150 meter sebelah utara.  Karena ditemukan pada alur Sungai Ciaruteun, prasasti ini dikenal dengan nama Prasasti Ciaruteun.
Anda akan melihat bahwa prasasti berisikan tiga hal, yaitu nama kerajaan Tarumanagara, nama raja Purnawarman, dan (mungkin) dewa yang dipujanya Wisnu. Prasasti ini diperkirakan dibuat pada abad ke-5 M.
Lokasi: Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang
Telepon:
Email:
Internet:
Arah: ± 19 km sebelah baratdaya dari Kota Bogor. Dapat menggunakan trayek Bogor-Ciampea-Simpang Lebak Sirna-Ciaruteun Hilir (lokasi). Selain itu mengunakan trayek Bogor-Ciampea (± 45 menit), dan sampai di Persimpangan Lebak Sirna dilanjutkan dengan ojek motor ± 1,5 km sampai ke lokasi.




Taman Purbakala Cipari
Daerah :Kabupaten Kuningan
http://disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fimages/Taman%20Purbakala%20Cipari.jpg
Taman Purbakala Cipari berada pada di Desa Cipari, kecamatan Cigugur, kabupaten Kuningan, dan secara astronomis terletak di daerah cekungan (lembah) pada di atas ketinggian 700  m dpl dan pada koordinat 108º 28’ 156” BT, 06º 57’ 723” LS, sekitar 3 km ke arah barat dari pusat kota Kuningan. Untuk menuju ke lokasi situs tidaklah sulit karena merupakan jalan beraspal yang dapat dilalui kendaraan roda empat maupun roda dua, sekitar 30 menit dari pusat Kota Kuningan.  
Lingkungan Situs Cipari sangat mendukung sebagai objek wisata, baik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara mengingat udara yang sejuk dan nyaman dengan pemandangan yang indah didukung oleh lahan situs yang cukup luas.
Situs seluas 700 m² ini merupakan bagian dari areal Taman Purbakala Cipari yang memiliki luas 2500 m, sisanya merupakan lahan parkir dan rumah jaga. Situs Cipari dikenal dengan nama  Taman Purbakala, karena merupakan bentuk pengembangan dan pemanfaatan situs purbakala yang berfungsi sebagai obyek wisata budaya sekaligus media pembinaan dan pengolahan jatidiri bangsa dan dapat menambah pendapatan asli daerah (PAD).   
Situs Cipari tinggalannya berdasarkan tipologi dan stratigrafi diperkirakan pernah mengalami 2 kali masa pemukiman yaitu pemukiman manusia pada akhir masa neolitik dan awal pengenalan bahan perunggu (masa perundagian) berkisar pada tahun 1000 SM s.d. 500 SM. 
Situs ini pertama kali ditemukan pada 1971/1972 oleh penduduk, selanjutnya dibantu petugas Pemerintah Daerah setempat mereka menggalinya dan menemukan peti kubur berukuran sangat besar dengan posisi membujur baratdaya-timurlaut. Di dalam dan di sekitar peti kuburbatu pada kedalaman sekitar 15 cm terdapat fragmen periuk, kendi, piring, gelang batu, kapak perunggu, manik-manik dan tulang hewan.
Penelitian arkeologi selanjutnya pada tahun 1974/1976, menemukan peti kubur kedua lengkap dengan penutupnya berukuran yaitu 16 x 56 x 59 cm. Di dalam peti kubur tidak ditemukan sisa jasad manusia tetapi bekal kubur yaitu fragmen tembikar. (pernik, pedupaan, cawan), gelang batu, beliung persegi, kapak perunggu, dan manik-manik.
Situs Cipari diduga kuat Peti Kubur Bilik Batu berasal dari masa Perundagian (paleometalik atau Perunggu Besi) yaitu masih nampak melanjutkan tradisi megalitik terbukti ditemukannya 2 buah peti kubur batu yang dipergunakan sebagai tempat (wadah) kubur.
Jika memasuki area Taman Purbakala pengunjung dibuat takjub oleh tinggalan-tinggalan budaya yang nampak dari pintu gerbang (arah kiri ke kanan) akan dijumpai menhir dengan tatanan batu, kemudian gelang batu dan kapak batu 1, peti kubur 1, peti kubur 2, menhir dengan tatanan lempengan batu sekeliling dibagian bawah, dan kapak batu. Kondisi objek masih tetap sama dan sesuai dengan kondisi pertama kali ditemukan.
Lantai jalan setapak di Taman Purbakala Cipari merupakan susunan lempeng batu bentukan baru yang diupayakan agar serasi dengan tinggalan megalitik yang dominan terbuat dari batu.

Astana Gede Kawali

Daerah :Kabupaten Ciamis
http://disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fimages/AstanaGede.jpg
Situs Kawali merupakan tinggalan budaya dari masa prasejarah, klasik, dan Islam, serta dianggap penting bagi masyarakat Sunda. Dalam tradisi masyarakat setempat, Situs Astana Gede Kawali dikenal sebagai peninggalan sejarah masa kerjaan Galuh dari abad ke-13 Masehi.
Anda akan melihat situs yang terbagi dalam beberapa halaman teras; pada halaman paling atas terdapat makam kuno dari masa Islam, yaitu Kiai Dalem Adipati Singacala dan Ki Cakrakusuma, yang menerima ajaran agama Islam dan kemudian menyiarkannya. Di halaman bawah terdapat beberapa tinggalan arkeologis, seperti beberapa Prasasti Kawali dan Batu Pangentengan. Selain itu juga terdapat prasasti berisi ajaran moral dari Prabu Raja Wastu, yang masih relevan hingga sekarang.
Lokasi: Kampung Indrayasa, Desa Kawali, Kecamatan Kawali



Candi Bojongmenje

Daerah :Kabupaten Bandung
http://disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fimages/CandiBojongmenje.jpg
Terletak di ketinggian 698 m dpl, Candi Bojongmende menempati kawasan seluas 843 m². Candi ini diperkirakan berasal dari abad ke 5 – 6 (Haryono, 2002), atau abad ke 7 (Djubiantono, 2002). Candi Bojongmenje mewakili jenis percandian yang berasal dari kawasan pengunungan atau dataran tinggi  karena candi Jawa Barat dari kawasan dataran tinggi pada umumnya dibuat dari batu alam, seperti andesit, tufa pada Candi Cangkuang di Garut, sedangkan di Jawa Barat bagian utara, atau di dataran rendah dibuat dari tanah liat bakar (bata) seperti Situs Batujaya dan Cibuaya.
Ditemukannya lingga dan yoni pada kegiatan pemugaran tahun 2004 pada fondasi kaki candi memperjelas bahwa agama yang melatari pembangunan candi Bojongmenje ini adalah agama Hindu-Šiava (Siwaisme), karena lingga-yoni merupakan simbolisasi dari Dewa Siwa yang berpadu dengan Dewi Parwati untuk keperluan pemujaan.
Anda hanya akan melihat hanya bagian kaki candi saja yang tersisa, sedangkan bagian tubuh dan atap tidak ditemukan. Bangunan kuno yang terletak di tepi Sungai Cimande ini, memiliki denah empat persegi dengan ukuran 6,40 x 6,77 meter dan tinggi 0,86 meter, dibangun dengan menggunakan bahan batu tufa. Didirikan di atas suatu fondasi yang tersusun dari pasangan balok batu dengan ukuran panjang 7,67 meter, lebar 7,40 meter. Secara keseluruhan bagian kaki tersebut terdiri atas bingkai panil, bingkai rata dan bingkai padma yang tersusun atas 5 lapis batu yang terdiri dari pasangan balok-balok batu bertakik pada bagian bawah yang disusun dengan sistem tumpuk. Sisa candi terdiri dari satu lapis batu di bagian luar (batu kulit), sedang di bagian tengah diisi dengan batu-batu lain yang berfungsi sebagai batu isian.
Alamat: Kampung Bojongmenje RT 03 RW 02, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek
Telepon:
Email:
Internet:
Arah: 24 km arah tenggara Kota Bandung, di sisi selatan jalan raya Rancaekek yang menghubungkan Kota Bandung dengan Tasikmalaya-Garut-Ciamis

Prasasti Curug Dago

Daerah :Kabupaten Bandung
http://disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fimages/Situs_Prasasti_Curug_Dago.jpg
Terletak di ketinggian ± 1310 m dpl adalah dua prasasti dengan aksara dan bahasa Thai. Pertama kali dipublikasikan pada tahun 1990, kedua prasasti ini bertuliskan CO PO RO serta PO RO RO (raja-raja Thailand, yaitu PYM Raja Chulalonkorn dan PYM Raja Paraminthara). Alfabet yang terdapat pada dua bongkah batu ini adalah Thai, yang berkembang berkat jasa seorang raja Sukhotai, Raam Kham Heng, seperti termuat dalam prasasti berangka tahun 1284 M, yang kemudian diikuti oleh beberapa raja untuk menyederhanakannya.
Menurut  S.A. Reitsma dan W.H. Hoogland, kedua batu itu erat kaitannya dengan kunjungan keluarga Kerajaan Siam (Tailand) ke Bandung, yaitu Raja Chulalongkorn serta Pangeran Prajatthipok Paramintara, yang masing-masing merupakan raja ke V dan VII dari Dinasti Chakri. Tujuan penulisan kedua prasasti di Curug Dago yang memuat nama kedua nama raja dan pangeran itu menjadi jelas, yaitu merupakan penghormatan terhadap ke dua tokoh tersebut, lengkap dengan penulisan inisial, angka tahun serta catatan usia kedua tokoh. Memang ada tradisi yang menyatakan bahwa pada umumnya apabila seseorang raja Thai menemukan tempat panorama yang indah, maka biasanya di tempat tersebut sang raja melakukan semadhi dan kadangkala menuliskan nama atau hal lainnya yang dianggap penting. Sekaligus merupakan kenangan dan pengakuan atas kekeramatan/kesucian tempat tersebut.
Alamat: Air terjun Dago, Kampung Curug Dago, Desa Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap
Telepon:
Email:
Internet:
Arah: ± 10 km di sebelah timurlaut dari pusat kota Bandung, di tebing Sungai Cikapundung tidak jauh dari air terjun Curug Dago
Fasilitas: lahan parkir kendaraan roda dua dan shelter  para pengunjung


Punden Berundak Pasir Lulumpang
Daerah :Kabupaten Garut
http://disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fimages/Punden%20Berundak%20Pasirlulumpang.jpg
Pasir Lulumpang berada di Kampung Cimareme, Desa Cimareme, Kecamatan Banyuresmi. Berada pada koordinat: 107º 57'09,1" BT dan 07º 16'6" LS LS dengan ketinggian sekitar 680 m dpl. Hampir seluruh areal situs saat sekarang (1995) telah dijadikan lahan perkebunan oleh penduduk setempat dengan ditumbuhi oleh pohon Jati dan tanaman lainnya milik Bapak Oha.
Situs Pasir Lulumpang berada ± 11 km dari Kota Garut. Lokasi dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda empat atau kendaraan roda dua dari Kota Garut menuju Leles, sampai disimpang Tarogong, belok ke arah timur dengan melewati Situ Bagendit yang telah dikembangkan sebagai objek wisata alam. Sampai di Simpang Desa Cimareme, selanjutnya di lingkungan RW 01 ditempuh dengan kendaraan roda dua atau jalan kaki melewati jalan telah disemen sampai ke situs. Waktu pencapaian dari Kota Garut sampai di situs ± 45 menit
Berita kepurbakalaan situs Pasir Lulumpang baru muncul pada Bulan November 1993, berdasarkan laporan Kandepdikbud Kabupeten Garut tentang adanya dua objek arkeologis di Desa Cimareme, Kecamatan Banyuresmi, yang sebelumnya objek ini belum pernah tercatat oleh hasil N.J. Krom di dalam Rapporten van den Oudheidkundigen Diens in Nederlandsch Indie (ROD tahun 1914). Kemudian peninjauan dilakukan ke situs ini oleh Tim dari Balai Arkeologi Bandung pada Bulan Juni 1994 dan Februari 1995. 
Pasir Lulumpang memiliki batas alam di sebelah timur adalah sungai yang berair hanya di musim hujan, sebelah barat mengalir sungai Cijangkameong dan Cimuara yang kedua sungai airnya mengalir ke Sungai Cimanuk yang terletak di sebelah utara situs, di Baratlaut situs terdapat Gunung Haruman dan Kaledong serta bekas rawa Rancagabus yang sebagian masih berair, serta Gunung Haruman m,erupakan puncak tertinggi di kawasan itu. 
Pasir Lulumpang terletak dengan arah utara-selatan dan kemiringan sekitar 45° di tepi sebelah timur laut rawa Ranca Gabus. Rawa Ranca Gabus membentang di antara beberapa bukit atau pasir yaitu Pasir Lulumpang, Pasir Kiara Payung, Pasir Tengah, Pasir Kolocer, Pasir Astaria, Pasir Luhur, Pasir Gantung, Pasir Tanjung, Pasir Malaka. Di sebelah utaranya mengalir Sungai Ciledug yang mengandung banyak bebatuan. 
Situs Pasir Lulumpang temuannya berupa dua buah punden berundak. Punden I terletak pada sisi barat bukit yang menempati lahan seluas 73 x 38 x 42 m, dengan orientasi punden ke arah timur-barat. Punden I terdiri dari 13 undakan/teras dari bahan batu andesit. 
• Teras I merupakan teras yang paling atas berbentuk trapesium dengan ukuran 30,5 m x 13,5 m, tanahnya relatif datar dan luas banyak ditanami pohon jati, ditemukan 2 buah lumpang batu dan susunan batu menyerupai bentuk segi tiga. 
• Teras II berukuran 11 m x 4 m, tinggi susunan batu dinding 1,25 m dan ditemukan 1 buah lumpang batu yang posisinya miring serta batu tegak yang berdiri berpasangan. 
• Teras III berukuran 13 x 2,5 m, dengan tinggi 90 cm m, ditemukan 2 buah lumping batu. 
• Teras IV berukuran 5 x 36,5 m, dengan ketinggian dinding 90 cm, susunan batu masih kompak dan teratur. 
• Teras V hampir sama ukurannya dengan teras IV, tetapi ketinggian dinding 160 cm, sebegian besar dinding mengalami kerusakan karena akar-akar pohon jati; 
• Teras VI berukuran 36,5 m x 4 m dan tinggi dinding 160 cm, susunan batu pada beberapa bagian telah rusak dan hilang.
• Teras VII berukuran 36,5 m x 5 m, dengan tinggi dinding teras 160 cm, sebagian batu telah hilang.
• Teras VIII berukuran 36,5 m x 3 m, dengan tinggi dinding teras 120 cm.  
• Teras IX berukuran 36,5 m x 4 m, dengan tinggi dinding teras tersisa 1 m, kondisi teras masih utuh. 
• Teras X berukuran 36,5 m x 4 m, dengan tinggi dinding teras 160 sebagian besar batu masih utuh. 
• Teras XI berukuran sama dengan teras X, kondisi batu utuh.
• Teras XII merupakan undakan tanah, batu sudah tidak ada lagi berukuran 36,5 m x 5 m, dengan tinggi dinding teras 160 cm.  
• Teras XIII undakan tidak utuh lagi dan susunan batu tidak ada lagi berukuran 36,5 m x 2,5 m, dengan tinggi dinding undakan 40 cm.
Punden Berundak II terletak kurang lebih 80 m dari Punden berundak terdiri dari 9 undakan atau teras dibuat dari bahan batu andesit. Punden II mempunyai undakan teratas (I) berukuran 12 x 9 m dan tinggi undakan 120 m, sedang undakan paling bawah berukuran 33 m x 4 m, tinggi dinding 120 cm. Selain itu dari hasil ekskavasi ditemukan fragmen gerabah, fragmen besi, batu giling (gandik), dan fragmen batu obsidian. 
Situs Pasir Lulumpang merupakan peninggalan dari tradisi megalitik berupa punden berundak yang dilengkapi lumpang-lumpang batu, hal ini merupakan satu model bangunan punden yang sebelumnya belum pernah dijumpai. Lumpang-lumpang batu itu seakan-akan menjadi pengganti menhir yang sering dijumpai melengkapi bangunan-bangunan punden berundak seperti punden berundak Lebak Cibedug, Pangguyangan (Cisolok). Lumpang-lumpang batu yang melengkapi punden berundak di Situs Pasir Lulumpang kiranya merupakan artefak-artefak simbolik dalam konteks yang berkaitan denagn sistem religi megalitik. Lumpang-lumpang batu di situs punden berundak Pasir Lulumpang diperkirakan memiliki fungsi dalam kaitan pemujaan yang diselenggarakan oleh komunitas-komunitas pendukungnya. Tujuan pemujaan dengan menggunakan lumpang batu atau batu dakon sebagai media upacara diperkirakan berhubungan dengan upacara-upacara kesuburan/pertanian untuk keberhasilan panan nantinya atau sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhahasilan panen yang dicapai. Upacara-upacara semacam ini masih biasa diselenggarakan oleh komunitas-komunitas petani tradisional di daerah Jawa Barat, yang lazim disebut upacara Hajat Bumi; ngalaksa; serentaun seperti yang masih dilakukan secara adat oleh komunitas Badui, Cikondang, Subang, Sukabumi.
Situs Pasir Lulumpang dapat dikembangkan sebagi objek wisata budaya karena temuan dari masa budaya megalitik cukup bervariasi jenisnya ada punden berundak, lumpang batu, menhir, fitur akan merupakan daya tarik bagi pelajar atau mahasiswa yang berminat di bidang sejarah dan purbakala. Dengan tersedianya sarana trasportasi berupa kendaraan angkutan kota dan ojeg akan lebih memudahkan wisatawan sampai ke sini.
Candi Cangkuang
Daerah :Kabupaten Garut
http://disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fimages/CandiCangkuang.jpg
Candi Cangkuang termasuk ke dalam wilayah Kampung Ciakar, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles. Secara geografis beradapada koordinat 7º 06’ 067” LS 107º 55’168”. Untuk mencapai Candi Cangkuang bisa naik bus atau elf jurusan Bandung-Garut, berhenti di alun-laun Leles, kemudian dilanjutkan dengan naik delman atau ojeg, atau berjalan kaki sejauh 3 Km.
Candi Cangkuang terletak di puncak bukit kecil di Pulau Panjang yang dikelilingi danau “Situ” Cangkuang, namun karena adanya pendangkalan pada sebagian danau maka salah satu sisinya menyatu dengan tanah di sekitar. Selain candi, ditemukan pula makam Arif Muhammad yang letaknya berdampingan dengan candi dan masih di areal Pulo Panjang ini terdapat pemukiman masyarakat adat Pulo.    
Nama Candi Cangkuang diambil dari nama Desa Cangkuang tempat dimana candi tersebut ditemukan, namun ada yang berpendapat bahwa Cangkuang adalah nama tumbuhan/pohon Cangkuang yang banyak tumbuh di kawasan tersebut. Candi Cangkuang ditemukan kembali pada tanggal 9 Desember 1966 berkat usaha penelusuran oleh ahli purbakala Drs. Uka Tjandrasasmita terhadap buku Notulen Bataviach Genoot Schap yang ditulis oleh orang Belanda bernama Vorderman tahun 1893. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa di Desa Cangkuang terdapat makam kuna Arif Muhammad dan sebuah arca siwa. Penelitian tahun 1967/1968 dengan cara penggalian di sekitar daerah tersebut menemukan pondasi kaki candi dan serakan batu bahkan oleh penduduk digunakan sebagai nisan makam. 
Pada tahun 1974 -1976 dilakukan pemugaran (rekonstruksi) bangunan candi yang dilaksanakan oleh proyek Pembinaan Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional Depdikbud dan hasilnya seperti sekarang ini dan makam Arif Muhammad yang terletak di sebelah candi. Pemugaran dilakukan berdasarkan sisa pondasi dan sejumlah temuan lepas. Temuan batu-batu asli ± 20 % memang sangat terbatas, tetapi cukup mewakili  bagian-bagian candi. Candi selesai dipugar dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 8 Desember 1976.
Candi Cangkuang berdenah bujur sangkar dengan ukuran panjang 4,5 m, lebar 4,5 m dan tinggi 8,5 meter dengan sebuah pintu masuk ke bilik utama di sisi timur. Candi terbuat dari batu andesit polos. Secara keseluruhan candi ini terdiri atas kaki, badan, dan atap. Kaki candi memiliki tangga yang diapit oleh dua pipi tangga menuju badan candi. Pada badan, terdapat bilik candi dengan arca Siwa dalam posisi duduk di punggung lembu (Nandi) dengan kaki kiri dilipat ke muka perut, kedua tangan arca patah, dibuat dari batu andesit, dengan tinggi 40 cm. Temuan arca Siwa yang merupakan dewa dalam Agama Hindu, menunjukan bahwa pembangunan candi untuk tempat pemujaan masyarakat yang beragama Hindu. Diduga oleh beberapa ahli bahwa candi dibangun pada abad ke-8 M, yang merupakan mata rantai yang hilang dari penemuan Candi Jiwa di Karawang (Abad ke-4), Candi di Wonosobo dan candi di Ambarawa pada abad ke-7 dan ke-8 M. Atap candi terdiri dari atas 4 tingkat yang bentuknya mengecil ke atas dengan kemuncak tunggal di atasnya. 
Arief Muhammad merupakan tokoh penyebar Agama Islam di daerah tersebut (Ani Rostiyati, 1996:70-73). Arif Muhammad semula senapati Kesultanan Mataram Islam yang terletak di Yogyakarta, yang ditugaskan oleh Sultan Agung untuk menyerang dan mengusir VOC/Kompeni di Batavia di bawah pimpinan J.P. Coen,  pada abad ke 17 M. Usaha penyerangan tersebut gagal, pasukan Mataram Islam mengalami kekalahan. Dengan kekalahan tersebut Arif Muhammad tidak pulang ke daerah asalnya di Yogyakarta, melainkan melarikan diri ke daerah pedalaman priangan, tepatnya di daerah Leles, Garut. Selanjutnya Arif Muhammad menetap dan menyebarkan Agama Islam kepada masyarakat setempat yang kemungkinan besar menganut agama Hindu. Hal tersebut biasa dilihat dari adanya bangunan candi Hindu. Usaha mengislamkan penduduk setempat berhasil dan hingga sekarang seluruh penduduk setempat secara nominal beragama Islam.
Arif Muhammad membentuk keluarga dengan menikahi wanita setempat serta memperoleh enam anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Setelah meninggal, Arif Muhammad dimakamkan di dekat candi Cangkuang.
Makam Arif Muhammad merupakan rekontruksi dari bentuk aslinya, ketika pemugaran Candi Cangkuang tahun 1976. Makam berdenah empat persegi panjang berukuran 260 x 126 x 80 cm, dengan nisan ganda berbentuk empat persegi panjang berukuran 46 x 25 x 6 cm dipasang saling berhadapan jaraknya 1 m. Makam ini banyak dikunjungi oleh masyarakat, namun ada larangan adat  yang harus dipatuhi yaitu tidak boleh berziarah ke makam pada hari Rabu. Hari Rabu dipakai hanya untuk kegiatan mengaji, ceramah dan mempelajari ilmu agama Islam.    
Ditemukan pula kitab-kitab tulisan tangan yang ditulis di kertas yang terbuat dari kulit kayu pohon saeh, yaitu kitab tauhid, kitab jurumiah, kitab ilmu sufi, kitab fikih, ilmu bahasa, kitab doa, kitab khutbah Jum’at, dan Alm Qur’an. Kesemua kitab merupakan peninggalan Arif Muhammad yang sekarang disimpan di Museum Situs  Cangkuang, tidak jauh dari makam Arif Muhammad.

Situs Lingga Yoni
Daerah :Kota Tasikmalaya
http://disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fimages/SitusLinggaYoni.jpg
Situs Lingga Yoni terletak di Jl. Blok Gunung Kabuyutan yang secara adinistratif masuk dalam wilayah Blok Wangkelang Kampung Sindanglengo, Sukamaju Kidul, Kecamatan  Indihiang. Situs  yang terletak di daerah bergelombang yang dimanfaatkan sebagai areal perkebunan ini berjarak sekitar 8 km dari pusat Kota Tasikmalaya. Lokasinya yang dekat dengan jalan besar/raya sehingga mudah dijangkau. Secara astronomis terletak pada koordinat: 49 M 0819390 dan UTM 9192758.
Lingga dan Yoni merupakan benda tinggalan budaya masa klasik Hindu-Buddha, sebagai lambang kesuburan dari perwujudan Siva dan Durga dihubungkan dengan pemujaan terhadap Dewi Ibu. Dewa-dewa dalam agama Hindu, khususnya dewa-dewa tertinggi yang digambarkan memiliki kekuatan untuk melakukan “tugas” yang seharusnya. Kekuatan ini disebut šakti dan seringkali diwujudkan sebagai dewi pasangan dewa-dewa tersebut. Dalam aliran Waisnava, Šakti Wisnu diwujudkan sebagai Laksmi. Dalam aliran Saiwa, Sakti Siwa disebut Dewi. Menurut beberapa Kitab Purana, Šakti Siwa atau Dewi memiliki dua aspek santa atau saumnya (tenang) dan aspek kroda atau raudra (dahsyat). Kultus Dewi Ibu menjadi bagian penting pada kebudayaan agraris sekitar 5000-4000 tahun SM. Hal ini muncul dari ketakjuban dan ketidakpahaman akan proses-proses alam, seperti kelahiran. Pada masa ini masyarakat menganggap Dewi Ibu sebagai personifikasi tanah yang melahirkan tanaman yang diperlukan manusia. Kemudian dibuatlah patung-patung wanita dalam sikap jongkok dalam ukuran kecil yang terbuat dari tanah liat dan batu kapur. Pada masa ini Dewi Ibu dipuja bersamaan pasangan laki-lakinya, karena pada prinsipnya dalam proses kelahiran hal tersebut tidak dapat diabaikan. Lambang Dewi Ibu dan pasangannya berupa alat kelamin wanita dan alat kelamin laki-laki.
Lingga Yoni ini berada di puncak bukit Gunung Kabuyutan. Situs ini menempati areal seluas 52.5 m². Pesawahan yang ada di sekitarnya menurut cerita merupakan danau yang di namakan Situ Wangkelang oleh penduduk setempat. Tempat ini diperkirakan sebagai tempat pemujaan pada masa klasik Hindu-Buddha. Tinggalan di situs ini sebagai berikut : 1. Lingga dan Yoni; 2. Fitur. Posisi Lingga dan Yoni sekarang bergeser sekitar 145 cm dari tempat aslinya. Pergeseran ini terjadi akibat terjatuhnya Lingga-Yoni ke Sungai Ciloseh, kemudian penduduk setempat meletakkannya kembali ke atas bukit tersebut, tetapi tidak tepat di tempat aslinya. Secara keseluruhan berukuran tinggi 82 cm, sedangkan secara terpisah adalah : a. Lingga terbuat dari bahan batu andesit dengan tinggi 45 cm. Bagian atasnya berbentuk silinder dengan diameter 19 cm, bagian tengahnya berbentuk segi delapan, dan bagian bawahnya berbentuk segi empat dengan ukuran 18 cm x 18 cm ; b. Yoni terbuat dari bahan batu cadas dengan tinggi 60 cm. Bagian atas berbentuk tidak beraturan dengan kedalaman dudukan Lingga setinggi 21 cm. Pada bagian tengah terdapat hiasan geometri dan berpelipit. Bagian bawahnya merupakan bagian kaki yang berpelipit dan relatif utuh berbentuk segi empat, dengan ukuran besar pada bagian bawah sekitar 55 cm x 50 cm. Fitur diduga merupakan bekas bangunan percandian, tetapi sudah tidak utuh lagi, yang tampak hanya susunan beberapa batu cadas pada sisi timur dan selatan dengan teras setinggi 50 cm.

Situs Tambaksari

Daerah :Kabupaten Ciamis
http://disparbud.jabarprov.go.id/wisata/fimages/SitusTambaksari.jpg
Situs Tambaksari merupakan kawasan yang mengandung tinggalan geologi dari jaman kuarter yang berumur Pliosen Tengah (2 juta tahun yang lalu). Ditemukan pertama kali pada tahun 1920, di sini Anda akan dapat menyaksikan fosil dan batu-batu aneh yang tersebar di kawasan tersebut.
Berlokasi di suatu cekungan sedimentasi yang dikenal dengan sebutan Cekungan Cijolang, dengan jenis fauna tersendiri berciri fosil penunjuk yaitu Merycopotamus Nanus Lydekker, Merycopotamus Nanus yaitu Hipopotamus (Hexaprotodon) Simplex (kuda nil), Cervus sp (rusa), dan Stegodon sp (gajah). Fosil fauna yang pernah ditemukan di kawasan Tambaksari mencakup kerbau, rusa, buaya, gajah, kuda nil, kura-kura, dan badak. Fosil-fosil tersebut ditemukan di beberapa situs, yaitu Urugkasang, Cisanca, Cicalincing, Cibabut, Cihonje, Ciloa, Cibabut, dan Cipasang.
Temuan paling spektakuler dari Tambaksari adalah fosil Homo Erectus pada Juli 1999, berupa sebuah gigi seri. Penemuan terjadi waktu dilakukan ekskavasi di tebing Cisanca pada kedalaman 333 cm di bawah permukaan tanah lapisan batu pasir kebiruan.
Anda dapat melihat beberapa fosil dan benda-benda arkeologis yang ditemukan di Tabaksari di Museum Situs Tambaksari. Lokasi-lokasi penemuan fosil dapat dicapai dengan mudah meskipun ada di antaranya yang hanya dapat dicapai dengan jalan kaki, misalnya lokasi penemuan gigi manusia purba di tepi aliran Sungai Cisanca, Desa Kaso.
Lokasi: Kecamatan Tambaksari dan Kecamatan Rancah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar