Udjo Ngalagena (lahir 5 Maret 1929 – meninggal 3 Mei 2001 pada umur 72 tahun) adalah seniman angklung asal Jawa Barat, Indonesia dan pendiri Saung Angklung Udjo.
Ia merupakan anak keenam dari pasangan Wiranta dan Imi. Pada usia
antara empat sampai lima tahun, Udjo kecil sudah akrab dengan angklung
berlaras pelog dan salendro yang kerap dimainkan di lingkungannya dalam
acara mengangkut padi, arak-arak khitanan, peresmian jembatan, dan
acara-acara yang melibatkan keramaian massa lainnya.
Berdirinya Saung Angklung Udjo
tidak dapat dilepaskan dari peran Udjo Ngalagena (5 Maret 1929 – 3 Mei
2001) sebagai pendiri Saung Angklung Udjo. Bahkan studi tentang Saung Angklung Udjo dapat dikatakan sangat erat kaitannya dengan studi tentang biografi Udjo Ngalagena dan keluarga.
Selain belajar angklung Ia juga mempelajari pencak silat, gamelan dan
lagu-lagu daerah dalam bentuk kawih dan tembang. Ia mempelajari
lagu-lagu bernada diatonis dari HIS berupa lagu-lagu berbahasa Indonesia dan Belanda.
Bakat serta kemampuannya makin berkembang ketika Ia mulai terjun
sebagai guru kesenian di beberapa sekolah di Bandung. Untuk mempertajam
kemampuannya Ia langsung mendatangi orang yang ahli dalam bidangnya.
Teknik permainan kacapi dan lagu-lagu daerah Ia belajar dari Mang Koko. Gamelan Ia pelajari dari Raden Machjar Angga Koesoemadinata, dan untuk angklung do-re-mi (diatonis) Ia dapat bimbingan dari Pak Daeng Soetigna (pencipta angklung bernada Diatonis).
Pengetahuan-pengetahuan tersebut kemudian diolahnya dalam bentuk
paket pertunjukan untuk pariwisata dengan mengutamakan materi sajian
angklung di sanggarnya (Saung Angklung Udjo). Kehadiran sanggar ini
merupakan suatu sarana bagi Udjo untuk dapat mencurahkan jiwa
kependidikan yang dimilikinya melalui seni angklung, sekaligus sebagai
sarana penyaluran jiwa kewirausahaannya dengan menjual pertunjukan
maupun alat musik bambu.
Tamu-tamu luar dan dalam negeri berdatangan setiap sore untuk
menikmati sajian pertunjukan kesenian tradisional berkwalitas tinggi
khas Jawa Barat, tak jarang mereka selalu ikut larut dalam permainan
angklung dan tarian anak-anak belia. Dari mulai Wayang, Tarian dan
Angklung mampu membuat takjub para pengunjung untuk datang berkali-kali
ke Saung Angklung Udjo. Jiwa entertainer Udjo mampu menyatukan antara
kesenian, anak-anak dan lingkungan menjadi sebuah sajian pertunjukan
yang harmonis di depan para pengunjungnnya.
Kepiawaian dan keahlian Udjo ternyata menurun kepada para
putra-putrinta. Awal tahun 90-an mulailah era putra-putrinya yang
meneruskan SAU di bawah bimbingan Udjo sendiri. Karena kondisi kesehatan
pun Udjo sudah jarang untuk memimpin sebuah pertunjukan, hanya sesekali
apabila sedang sehat Udjo muncul dalam pertunjukan yang dipimpin oleh
para putranya sekedar mengucapkan salam ke pada para pengunjung dalam
berbagai bahasa (Inggris, Belanda, Prancis, Jerman serta negara
lainnya).
Sepeninggal Udjo Ngalagena ( 03 Mei 2001 ) SAU mulai diteruskan oleh
para putra - putri. Tak ada yang berubah SAU tetap ramai dikunjungi para
touris dalam dan luar negeri, anak-anak masih riang gembira memainkan
angklung. Gemuruh tepukan dan senyum kagum penonton masih selalu hadir
di setiap akhir pertunjukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar