Di utara Bandung, di tempat Gunung Tangkuban Parahu sekarang, terdapat gunung api raksasa, Gunung Jayagiri namanya. Gunung ini kemudian meledak dahsyat hingga mengambrukkan tubuhnya membentuk kaldera, kawah yang sangat luas. Dari sisi kaldera Jayagiri ini tumbuh gunung baru, yaitu Gunung Sunda. Letusan mahadahsyat Gunung Sunda telah mengambrukkan tubuhnya membentuk kaldera. Dari kaldera Gunung Sunda inilah Gunung Tangkuban Parahu terbentuk. Sampai sekarang, cucu Gunung Jayagiri ini terus memperlihatkan aktivitasnya, membentuk dirinya mengikuti jejak alam leluhurnya.
Kompleks kaldera Gunung Sunda dan Gunung Tangkubanparahu menyimpan sejarah bumi yang sangat panjang. Gunung ini mempunyai daya pikat dan pesona yang luar biasa sehingga terus mendapat perhatian. Kawasan ini bukan hanya memiliki keragaman bumi, melainkan juga keragaman hayati, baik flora maupun fauna. Macan tutul (Panthera pardus sondaicus) yang menjadi simbol fauna Jawa Barat pun masih terdapat di sana. Mochamad Nugraha Kartadinata (MNK, 2005) telah mengkaji secara mendalam Gunung Tangkubanparahu dan Gunung Sunda. Data hasil kajiannya dijadikan dasar dalam tulisan ini.
Gunung Sunda (1.854 meter dpl) yang terdapat dalam peta, itu hanyalah kerucut kecil dalam rangkaian panjang kaldera Gunung Sunda. Gunung Sunda yang sebenarnya dibangun dengan dasar gunung selebar 20 km lebih, dengan ketinggian ±4.000 meter dpl. Sangat mungkin tinggi sesungguhnya lebih dari taksiran itu. Pada umumnya, gunung yang meletus hingga membentuk kaldera, menghancurkan dua pertiga tubuh gunungnya. Kalau saat ini titik tertinggi dari kaldera Gunung Sunda adalah 2.080 meter dpl. Artinya, tinggi gunung tersebut hanyalah satu pertiga bagian dari Gunung Sunda.
Sebelum Gunung Sunda terbangun, di sana terdapat Gunung Jayagiri. Letusan-letusan pertamanya mengalirkan lava yang terjadi dalam rentang waktu antara 560.000-500.000 tahun yang lalu. Kemudian letusan-letusan yang mengambrukkan badan gunung ini hingga membentuk kaldera.
Tiga abad kemudian, dari dalam kaldera itu terjadi letusan yang membangun gunung baru, yaitu Gunung Sunda. Letusan dahsyat Gunung Sunda oleh Mochamad dibagi menjadi tiga episode letusan utama.
Episode pertama berupa letusan-letusan yang mengalirkan lava, terjadi antara 210.000-128.000 tahun yang lalu. Episode kedua terjadi 13 unit letusan. Dalam satu unit letusan dapat terjadi lebih dari satu kali letusan besar. Episode ketiga berupa letusan-letusan yang mengambrukkan badan gunung ini hingga membentuk kaldera yang terjadi ±105.000 tahun yang lalu.
Episode ketiga letusan Gunung Sunda dibagi lagi menjadi tiga fase letusan. Pertama, fase plinian, letusan dengan tekanan gas yang sangat tinggi, melontarkan material sebanyak 1,96 km3 ke angkasa, membentuk tiang letusan setinggi 20 km dengan payung letusan sepanjang 17,5 km, dan lebarnya 7 km.
Kedua fase freatomagmatik, letusan yang melontarkan awan debu dengan butiran-butiran kerikil gunung api, volumenya 1,71 km3.
Ketiga fase ignimbrit, yang terjadi ±105.000 tahun yang lalu, menurut penelitian Rudy Dalimin Hadisantono (1988), volume yang dilontarkannya 66 km3 yang mengarah ke barat laut, selatan, dan timur laut dari pusat letusan, menutupi kawasan seluas 200 km2 dengan rata-rata ketebalan 40 meter, seperti dapat dilihat di Ciseupan, di Campaka, Cisarua, Kampung Manglayang, dan Cipeusing. Belum terhitung 40 persen dari total material gunung api yang melayang-layang di angkasa dan jatuh di belahan bumi yang sangat jauh. Karena banyaknya material yang dikeluarkan, mengakibatkan ambruknya sebagian besar dari tubuh Gunung Sunda, membentuk kaldera seluas 6,5 x 7,5 km.
Pada letusan dahsyat fase ketiga inilah material letusan Gunung Sunda dengan seketika mengubur apa saja yang ditimpanya. Hutan belantara terkubur bersamaan dengan makhluk hidup yang ada di dalamnya, seperti badak, rusa, kijang yang sedang berada di lembah Ci Tarum, jaraknya ±35 km dari pusat letusan (Umbgrove dan Stehn: 1929, R.W. van Bemmelen: 1936, Th. H.F. Klompe: 1956). Arang kayu seukuran drum yang melintang searah datangnya awan panas ditemukan di penggalian pasir Ciseupan, Cibeber, Kota Cimahi.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, letusan Gunung Sunda fase ketiga itulah yang telah menguruk Ci Tarum Purba di utara Padalarang, membentuk danau raksasa, Danau Bandung Purba. Bagian sungai ke arah hilir yang tidak tertimbun disebut Ci Meta, sungai kecil dalam lembah besar Ci Tarum Purba.
Dari kaldera Gunung Sunda itu kemudian lahir Gunung Tangkubanparahu. Letusan-letusannya dibagi ke dalam dua kategori letusan, yaitu letusan Gunung Tangkubanparahu tua antara 90.000-10.000 tahun yang lalu, juga pernah meletus sebanyak 30 unit letusan. Letusan Gunung Tangkubanparahu muda antara 10.000-50 tahun yang lalu, juga meletus 12 unit letusan.
H. Tsuya menggolongkan derajat kehebatan letusan gunung api ke dalam sembilan tingkatan, mulai dari derajat satu yang hanya mengembuskan fumarola hingga derajat IX yang melontarkan material gunung api lebih dari 100 km3. Bila gunungapi itu mampu melontarkan material dari tubuhnya antara 10-100 km3, dapat digolongkan mempunyai derajat kehebatan VIII. Gunung Sunda termasuk kategori ini karena pada letusan fase ketiga melontarkan material vulkanik sebanyak 66 km3. Jumlah ini sebenarnya 60 persennya saja sebab yang dihitung hanya yang mengendap di permukaan. Sementara yang diterbangkan ke berbagai penjuru bumi tidak dihitung, jumlahnya mencapai 40 persen. Bila seluruhnya dijumlahkan, kedahsyatan Gunung Sunda mendekati kategori IX.
Sebagai pembanding, letusan dahsyat Gunung Krakatau tahun 1883 hanya melontarkan material sebanyak 18 km3. Letusan Gunung Tambora tahun 1815 menghamburkan 150 km3 dengan derajat kehebatan IX (K. Kusumadinata, 1979).
Sisa-sisa kedahsyatan letusan Gunung Jayagiri, Gunung Sunda, dan Gunung Tangkubanparahu merupakan keragaman bumi yang luar biasa dan sangat baik bila dijadikan laboratorium alam untuk pembelajaran bagi warga kota. (T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung)***
Sumber : http://newspaper.pikiran-rakyat.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar