Sanghyang Tikoro, Rajamandala |
Dari
kalimat awalnya mengingatkan kita kepada cerita dari dunia wayang yang
menyebut dewa-nya dengan Sanghyang. Sedangkan Tikoro artinya
tenggorokan..kalau disatukan artinya : Tenggorokan Dewa..(?)
Sanghyang Tikoro yang letaknya berdekatan dengan Danau Saguling. Lokasinya memang tersembunyi sehingga kerapkali luput dari perhatian wisatawan. Nama Sanghyang Tikoro sering dihubungkan dengan legenda Sangkuriang, khususnya berkaitan dengan Danau Bandung. Dalam legenda diceritakan pula suatu saat jikalau lubang Sanghiang Tikoro tersumat oleh sebatang lidi saja, kawasan Bandung Raya akan kembali tergenang air seperti dalam legenda Sangkuriang.
Sangkuriang identik dengan asal muasal terciptanya Gunung Tangkuban parahu, Danau Purba Bandung, Gunung Burangrang, Gunung Bukit Tunggul, dan Sang Hyang Tikoro. Cerita tentang
pangeran sakti mandraguna ini, dibalut kisah
cinta terlarang antara seorang anak yang tidak lain adalah Sangkuriang
dengan ibu kandungnya, Dewi Dayang Sumbi.
Legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada pada naskah Bujangga Manik, yang ditulis pada daun palem yang berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskah tersebut, ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga Manik atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Pulau Bali pada akhir abad ke-15. Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi Kota Bandung. Dia menjadi saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempat ini beserta legendanya.
Berdasarkan cerita yang sudah semua orang sudah mengetahuinya, Sangkuriang tak mau menerima kalau orang yang dicintainya tak lain adalah ibu kandungnya sendiri. Untuk membatalkan rencana pernikahannya, Dayang Sumbi membuat berbagai persyaratan yang diperkirakan dapat membatalkan pernikahan terlarang tersebut.
Dia mengajukan dua syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat pertama, Dayang Sumbi ingin supaya Sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus diselesaikan sebelum fajar menyingsing. Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung ukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan mejadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang, bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi, Dayang Sumbi bermohon kepada Sang Hyang Tunggal agar maksud Sangkuriang tidak terwujud.
Dayang Sumbi menebarkan irisan boeh rarang (kain putih hasil tenunannya), ketika itu pula fajar pun merekah di ufuk timur. Sangkuriang menjadi gusar dan di puncak kemarahannya bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro dijebolnya, sumbat aliran Sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkubanparahu.
Tempat-tempat yang diyakini terbentuk dari "murkanya" Sangkuriang tersebut, masih banyak dikunjungi orang-orang yang sedang menimba "ilmu" tertentu. Seperti halnya Sanghyang Tikoro yang berada di Desa Rajamandala, Kec. Cipatat, Kab. Bandung Barat. Letak Sanghyang Tikoro berada di sam-ping PLTA Saguling. Karena dianggap keramat, tak ada satu pun tangan jahil yang berani merusaknya. Sanghyang Tikoro berbentuk gua alam yang dialiri air dari Sungai Citarum.
Menurut keterangan, orang yang datang ke Sanghyang Tikoro bukan sekadar menikmati keajaiban alam, tapi juga memiliki tujuan lain. Pada malam-malam tertentu, seperti malam Selasa Kliwon dan malam Kamis Kliwon sering terlihat orang yang tengah bersemedi di atas atau pinggir Sanghyang Tikoro.
Hingga sekarang belum ada satu pun orang yang berani masuk ke dalam Sanghyang Tikoro sehingga tidak ada yang berani memastikan berapa panjang Gua Sanghyang Tikoro tersebut. Ada yang menyebutkan panjangnya mencapai 800 meter. Konon, air yang masuk ke dalam Sang-hyang Tikoro tidak seluruhnya mengalir kembali ke Sungai Citarum, tapi sebagian masuk ke dalam tanah. Karena itulah orang menyamakannya dengan tikoro. Jelas sekali terjadi perbedaan pendapat tentang asal muasal terbentuknya Sanghyang Tikoro, Gunung Tangkubanparahu, Gunung Burangrang versi cerita Sangkuriang dengan hasil penelitian ilmuan.
Versi ilmiah hasil penelitian ahli geologi, Sanghyang Tikoro, Gunung Tangkubanparahu, dan Gunung Burangrang terbentuk akibat meletusnya Gunung Sunda. Dahsyatnya letusan mengakibatkan seluruh permukaan badannya hancur tak bersisa. Setelah letusan, yang tersisa hanyalah lubang-lubang lekukan yang dalam dengan muntahan laharnya sangat panas. Karena banyaknya mengeluarkan lahar panas, menyebabkan sungai di daerah Batujajar, Cililin, dan Padalarang tertimbun dan berubah menjadi lahar dingin. Lama kelamaan menggunung dan membentuk sebuah telaga yang kemudian populer dengan sebutan Talaga Bandung. Luas Talaga Bandung, menurut data panjangnya mencapai sekitar 6 km dan lebarnya sekitar 15 km. Tanah di Padalarang dan Cililin umumnya mengandung kapur. Namun, sedikit demi sedikit akhirnya terkikis membentuk lubang aliran yang kelak dikenal Sanghyang Tikoro. Belasan atau bahkan puluhan tahun kemudian air yang ada di Talaga Bandung mengalir ke segala penjuru, hingga mengering. Setelah peristiwa maha dasyat tersebut, kemudian terbentuklah daratan rendah Pasundan atau Bandung.
Sebenarnya
Sanghyang Tikoro adalah sebuah gua berbahan dasar batu gamping yang
bagian bawahnya dilalui aliran air Sungai Citarum yang deras. Panjang
gua bawah tanah itu 162 m dengan kedalaman sekitar 1,5 di musim kemarau.
Tak jauh dari Sanghyang Tikoro, ke arah hilir aliran Sungai Citarum,
terdapat lokasi yang sering digunakan olah raga arum jeram. Lokasi ini
sangat cocok sebagai ajang lathan bagi pemula karena arus air dan
jeramnya tidak terlalu berbahaya.
Ada
sedikit catatan tambahan yang saya dapatkan dari alm. Nenek saya,
bahwasanya di gua yang disebut sanghyang tikoro terdapat batu besar yang
menyumbat aliran sungai dengan hanya akar-akar pohon saja yang
menahannya. Jika kita telaah dengan logika kita, rasanya tidak mungkin
batu besar plus aliran air sungai yang deras bisa ditahan hanya dengan
akar-akaran. Suatu saat nanti dan entah kapan, bila saatnya tiba...batu
tersebut tidak akan lagi menahan aliran air sungai citarum dan
menenggelamkan kota bandung dan sekitarnya...
Lepas
dari semua cerita dan legenda tersebut diatas, Sanghyang Tikoro adalah
tempat yang bisa kita jadikan renungan dan dasar untuk mensyukuri dan
menikmati apa yang telah Tuhan berikan kepada kita......
nb : dari berbagai sumber...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar