PARA ahli geologi, baik dari Belanda seperti R.W. van Bemmelen dan
Th. H.F. Klompe maupun dari Indonesia seperti J.A. Katili, berpendapat
bahwa Danau Bandung Purba terbentuk karena letusan dari Gunung
Tangkubanparahu. Kemudian pendapatnya itu secara turun temurun
diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga saat ini.
Dalam karya R.W. van Bemmelen (1936) The Geological Hystory of Bandung Region (translated from Dutch by Robert Smit and Richard Bennett, 1976), demikian juga bukunya yang monumental (1949) The Geology of Indonesia, bagaimana kepincutnya van Bemmelen oleh sasakala Sangkuriang – Dayang Sumbi.
Dalam buku geologi setebal bantal bayi yang berbobot itu, masih
menyelipkan sasakala Sangkuriang dalam boksnya. Setelah direkonstruksi,
peristiwa geologi Bandung versi van Bemmelen itu ada kesamaan kronologi
dengan sakakala tersebut, satu di antaranya bahwa Danau Bandung Purba
terbentuk karena peristiwa Gunung Tangkubanparahu yang meletus malam
hari dan membendung Citarum purba di utara Padalarang.
Setelah membaca disertasi Mochamad Nugraha Kartadinita yang berjudul “Tephrochronological Study on Eruptive History of Sunda-Tangkuban Perahu Volcanic Complex, West Java, Indonesia”
(Kagoshima University, Japan, March, 2005), keyakinan saya tentang
pembendungan Danau Bandung Purba oleh Gunung Tangkubanparahu mulai
berubah. Walau pun dalam disertasinya tidak dituliskan secara langsung
tentang pembentukan Danau Bandung Purba, karena memang di luar
kajiannya, saya bisa menyimpulkan, letusan maha dahsyat Gunung Sunda-lah
yang telah membendung Citarum purba tersebut.
Sisa kedahsyatan Gunung Sunda
Para anggota TNI AD dan para penggiat kehidupan di alam bebas yang
sering berlatih di Situ Lembang, di lembah antara Gunung Tangkubanparahu
dan Gunung Burangrang, pasti sangat akrab dengan pemandangan berupa
rangkaian dinding yang memanjang sejak Lawangangin hingga di utara Situ
Lembang. Itulah dinding kaldera Gunung Sunda.
Di ujung utara rangkaian dinding itu ada nama Gunung Sunda yang
tingginya 1.854 meter dari permukaan laut (dpl.), sebuah kerucut kecil
dalam rangkaian panjang kaldera Gunung Sunda. Gunung Sunda yang ini
sesungguhnya bukanlah Gunung Sunda yang asli, karena hanya merupakan
satu titik dari kaldera Gunung Sunda. Gunung Sunda yang sebenarnya
dibangun dengan dasar gunung selebar + 20 km, dan ketinggiannya ditaksir
4.000 m. dpl. Sangat mungkin tinggi sesungguhnya lebih dari taksiran
itu. Sebab, pada umumnya sebuah gunung yang meletus hingga membentuk
kaldera, kebanyakan menghancurkan dua per tiga tubuh gunungnya.
Kalau saat ini titik tertinggi dari kaldera Gunung Sunda adalah 2.080
meter dpl., ini hanya satu per tiga bagian dari Gunung Sunda. Dua per
tiganya lagi adalah bagian gunung yang telah ambruk bersama meledaknya
gunung ini. Dengan diketahuinya ketinggian gunung ini maka volumenya
akan diperoleh, sehingga dapat mengetahui derajat besaran letusannya.
Pada masa prasejarah, gunung ini meletus dengan jenis letusan plinian,
letusan yang banyak mengeluarkan gas gunung api. Letusan tipe ini
menyebabkan material gunungapinya disemburkan ke berbagai wilayah yang
sangat jauh, hingga Citarum di selatan Rajamandala, dan tersebar di
kawasan seluas 200 km2.
Karena begitu banyaknya material dari dalam bumi yang dikeluarkan
itulah maka terjadi kekosongan dalam dapur gunung apinya. Inilah
salahsatu yang mengakibatkan ambruknya sebagian besar dari tubuh Gunung
Sunda hingga membentuk kawah yang sangat luas yang disebut kaldera
Gunung Sunda. Dari tengah kaldera ini kemudian lahir Gunung
Tangkubanparahu, yang kemudian meletus beberapa kali.
Dalam disertasinya itu Mochamad Nugraha Kartadinita (MNK)
menyimpulkan, bahwa ada gunung api yang lebih besar lagi sebelum adanya
Gunung Sunda. Jadi, menurutnya Gunung Sunda lahir dari kaldera
Pra-Gunung Sunda. Saya mengusulkan nama Gunung Pra-Sunda itu diberi nama
Gunung Jayagiri, karena dinding kalderanya melingkar di kawasan
Jayagiri. Gunung Jayagiri terbangun antara 560.000 – 500.000 tahun yang
lalu.
Menurut MNK setelah Gunung Pra-Sunda (Gunung Jayagiri, penulis)
membentuk kaldera, 300.000 tahun kemudian baru lahir Gunung Sunda dari
kalderanya. Dalam penelitian MNK, Gunung Sunda tercatat meletus sebanyak
13 kali, dan kaldera Gunung Sunda yang berukuran 6,5 x 7,5 km. itu
terbentuk antara 200.000 – 180.000 tahun yang lalu.
Dari kaldera Gunung Sunda inilah lahir Gunung Tangkubanparahu. MNK membagi dua kategori letusan gunung ini, yaitu: Pertama
letusan Gunung Tangkubanparahu tua antara 105.000 – 10.000 tahun yang
lalu sebanyak 30 kali letusan dan kedua letusan Gunung Tangkubanparahu
muda antara 10.000 – 50 tahun yang lalu yang meletus 12 kali.
H. Tsuya menggolongkan derajat kehebatan letusan gunung api menjadi 9
tingkatan, mulai dari derajat satu, yang hanya mengembuskan fumarola
hingga derajat 9 yang melontarkan material gunung api lebih dari 100
km3. Bila sebuah gunung api mampu melontarkan material dari tubuhnya
antara 10 – 100 km3 dapat digolongkan mempunyai derajat kehebatan
delapan. Gunung Sunda termasuk kategori ini karena pada fase pertama
dalam pembentukan kalderanya telah melontarkan material vulkanik
sebanyak 66 km3. Jumlah ini sebenarnya hanya 60 persennya saja, sebab
tidak menghitung yang menghilang diterbangkan angin ke berbagai penjuru
dunia. Bila yang 40 persen lagi dihitung, maka jumlahnya akan mencapai
110 km3.
Sebagai bandingan, pada tahun 1963 Gunung Krakatau meletus dengan
mengembuskan volume sebanyak 0,00030 km3 dan tetusan tahun 1973
volumenya sebanyak 0,012 km3. Sedangkan Letusan dahsyat Gunung Krakatau
1883 melontarkan material gunungapi sebanyak 18 km3 atau setara dengan
21.547,6 bom atom. Sedangkan letusan Gunung Tambora tahun 1815
menghembuskan 150 km3, dengan derajat kehebatan IX, atau setara dengan
171.428,6 bom atom (K. Kusumadinata, 1979).
Letusan dahsyat Gunung Sunda sedikitnya terbagi menjadi dua episode
letusan utama. Letusan episode pertama mengeluarkan lava, yang terjadi
1,1 juta tahun yang lalu, dan episode kedua, letusan yang telah
mengambrukkan badan gunung ini hingga membentuk kaldera, diperkirakan
terjadi antara 205.000 – 180.000 tahun yang lalu.
Pada letusan dahsyat Gunung Sunda episode kedua, piroklastika-nya
dengan seketika mengubur apa saja yang ditimpanya. Hutan belantara
dengan kayunya yang besar terkubur bersamaan dengan makhluk hidup yang
ada di dalamnya, tak terkecuali hewan vertebrata besar seperti badak,
rusa, kijang, dan hippopotamus (kuda nil) yang sedang berada di
lembah atau rawa-rawa di selatan Rajamandala, yang jaraknya + 35 km.
dari pusat letusan. Arang kayu seukuran drum dapat ditemukan di
penggalian pasir Ciseupan, Cibeber, yang kini sudah ditutup. Di sana
terdapat pohon-pohon yang melintang serah datangnya awan panas yang
telah mengarang.
Dari fosil badak dan hippopotamus yang ditemukan di tebing
Citarum sebelah barat daya Bandung, di Baribis Subang, dan di Tambaksari
Ciamis, menunjukkan bahwa binatang raksasa ini pernah hidup di Tatar
Sunda.
Perjalanan binatang tersebut karena di kawasan lintang tinggi saat
itu membeku, suhunya melebihi kemampuan binatang beserta habitatnya
untuk bertahan hidup. Siklus hidrologi terputus, bukan hanya air yang
ada di laut yang membeku, tapi semua air yang masih ada di darat
semuanya membeku, sehingga volume air laut semakin berkurang. Ketika
rumput dan sumber makanan lainnya tertimbun es dan mati, maka nalurinya
menuntun hewan-hewan itu bergerak ke kawasan yang suhunya lebih hangat
dan menyimpan sumber makanan yang masih berlimpah. Salah satu tujuannya
adalah kawasan tropik, yang suhunya saat itu + 70 0C lebih rendah dari
suhu saat ini.
Ketika terjadi pembekuan di lintang tinggi 3,5 juta tahun yang lalu
itulah air laut di kawasan tropika menyusut tajam hingga puluhan meter
dalamnya, yang mengeringkan laut di paparan antara benua Asia, Pulau
Sumatra, Pulau Jawa, dan Pulau Kalimantan. Paparan Sunda yang kering
inilah yang dijadikan jalan migrasi bagi hewan vertebrata seperti
stegodon, badak, rusa, kijang, kerbau, kuda nil, gajah purba, dan yang
lainnya, kemudian diikuti oleh migrasi homoerektus hingga manusia
prasejarah ke Tatar Sunda.
Binatang vertebrata yang bermigrasi itu ada yang terus mendaki hingga
ketinggian 700 m. dpl. dan sampai di Cekungan Bandung. Dari data yang
tersingkap di tebing Citarum, ditemukan fosil binatang vertebrata dalam
timbunan material lepas dari letusan Gunung Sunda. Fakta ini dapat
memberikan petunjuk, bahwa hewan-hewan besar itu masih hidup hingga
terjadi letusan mahadahsyat Gunung Sunda.
Dari singkapan tebing di Ci tarum, Umbgrove dan Stehn (1929) menulis
tentang penemuan fosil vertebrata. Fosil vertebrata itu oleh R.W. van
Bemmelen (1936) direkonstruksi secara geologis dengan kejadian bumi
Bandung, dihubungkan dengan letusan mahadahsyat Gunung Sunda. Selain van
Bemmelen, pada tahun 1956 Th. H.F. Klompe pun menguraikan keadaan
geologi Bandung dengan letusan mahadahsyat Gunung Sunda. R.W. van
Bemmelen dan Th. H.F. Klompe menyebutkan adanya hippopotamus yang mati lemas terkubur piroklastika letusan Gunung Sunda.
Perlu ada penelitian-penelitian lanjutan, seperti penelitian
serbuksari dan iklim purba, sehingga dapat ditafsirkan bagaimana
pengaruh letusan ini pada kehidupan hutan dan segala isinya, serta
adakah pengaruhnya pada perubahan iklim secara lebih luas dan kehancuran
ekosistem termasuk binatangnya?
Terbendung material letusan G. Sunda
Sebagai bandingan, bila Gunung Tangkubanparahu sebagai anak Gunung
Sunda, atau cucu Gunung Jayagiri meletus nanti, daerah bahayanya hanya
seluas 74 km2, serta daerah waspadanya seluas 149,8 km2. Bila letusannya
besar, laharnya akan membanjir hingga daerah waspada mengikuti lembah,
paling jauh mengikuti Cikapundung hingga jarak + 20 km dari pusat
letusan. Hal ini dapat menjadi pembanding, betapa dahsyatnya letusan
Gunung Sunda pada periode prasejarah, mampu mengubur apa saja yang
ditimpanya dalam radius yang sangat luas dan seketika.
MNK membagi letusan Gunung Sunda itu menjadi tiga fase, pertama fase ignimbrite
yang terjadi 105.000 tahun yang lalu, yang menurut penelitian Rudy
Dalimin Hadisantono (1988), volume yang dilontarkannya sebanyak 66 km3
mengarah ke barat laut, selatan, dan timur laut pusat letusan, menutupi
kawasan seluas 200 km2 dengan rata-rata ketebalan 40 meter, seperti
dapat dilihat di Ciseupan, di Campaka, Cisarua, dll. Kedua fase freatomagmatik yang melontarkan volume sebanyak 1,71 km3, dan ketiga adalah fase plinian dengan melontarkan material gunung api sebanyak 1,96 km3.
Pada fase ketiga ini material vulkaniknya mendapat tekanan yang
sangat tinggi, sehingga mampu dilontarkan ke angkasa membentuk tiang
letusan setinggi 20 km dengan payungnya sepanjang 17,5 km dan lebarnya 7
km. Belum terhitung debu yang melayang-layang mengelilingi angkasa dan
jatuh dibelahan bumi yang sangat jauh, yang biasanya volumenya mencapai
40 persen dari total material vulkanik yang dilontarkan.
Dari data tersebut di atas, bahwa letusan Gunung Sunda fase pertama
yang terjadi 105.000 tahun yang lalu yang melontarkan material vulkanik
sebanyak 66 km3 dan menutupi kawasan seluas 200 km2 dengan rata-rata
ketebalan 40 meter, dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa tidak mungkin
material vulkanik sebanyak itu tidak menutup aliran Citarum Purba! Saya
berkeyakinan, material Gunung Sundalah yang telah membendung Citarum
Purba di utara Padalarang, yang sisa sungainya kini disebut Cimeta.
Jadi, jauh sebelum Gunung Tangkubanparahu lahir, Danau Bandung Purba
sudah lama terbentuk! Mudah-mudahan para ahli geologi, ahli fosil, ahli
palinologi, ahli iklim purba, ahli geografi dapat mengadakan penelitian
lanjutan untuk menyingkap sejarah bumi Bandung lebih akurat lagi!
Sesuai kronologi sakakala sang kuriang!
Bila diadakan reinterpretasi sakakala Sangkuriang – Dayang Sumbi,
sesungguhnya sakakala itu sudah memberikan tanda-tanda itu. Mari kita
lihat kronologi sasakala, khusus pada fase pembendungan dan kejadian
Gunung Tangkubanparahu.
Pertama Sangkuriang menebang pohon lametang raksasa dan roboh ke barat. Tunggulnya membentuk Bukit Tunggul, dan rangrangan,
sisa dahan, ranting dan daunnya membentuk Gunung Burangrang.
Ditafsirkan kedua kerucut ini hanyalah gunung api parasiter dari gunung
api yang lebih besar, yaitu Gunung Sunda. Batang pohon itu menjadi
bakalan perahu yang akan dibuatnya.
Setelah pohon ditebang (setelah gunung api parasiter terbentuk),
Sangkuriang pergi untuk membendung sungai, agar tergenang menjadi danau
yang kelak akan dijadikan tempatnya berlayar memadu kasih dengan Dayang
Sumbi, sesuai dengan kesepakatan awal antara keduanya. Dapat
ditafsirkan, upaya pembendungan sungai dilaksanakan jauh sebelum Gunung
Tangkubanparahu terbentuk.
Setelah sungai dibendung, Sangkuriang melanjutkan mengerjakan batang
kayu itu menjadi perahu. Danau sudah terbendung, airnya mulai ngamprah,
mulai tergenang, dan betapa girangnya Sangkuriang. Fantasinya berlayar
bersama Dayang Sumbi memberikan semangat untuk terus membuat perahu.
Namun sebaliknya bagi Dayang Sumbi. Dalam hati Dayang Sumbi berkata,
“Wah, kalau begini akan celaka jadinya!” Dayang Sumbi mengambil daun kingkilaban
tujuh lembar, lalu dibungkus dengan kain putih hasilnya menenun. Daun
yang dibungkus itu dipotong-potong halus, lalu ditaburkan ke arah timur
sambil memanjatkan permohonan:
Jampi saya, si urung gunung,
Kayu Lametang urung dibuat perahu,
Ci Punagara urung dibendung,
Bukan kehendak Sang Kuriang,
Tapi kehendak Dayang Sumbi,
Jadi, TIDAK!
Jadi, TIDAK!
Sang Kuriang TIDAK JADI kepada saya!.
Kayu Lametang urung dibuat perahu,
Ci Punagara urung dibendung,
Bukan kehendak Sang Kuriang,
Tapi kehendak Dayang Sumbi,
Jadi, TIDAK!
Jadi, TIDAK!
Sang Kuriang TIDAK JADI kepada saya!.
Karena Yang Mahakuasa memayungi makhluknya yang selalu bersih
hatinya, seketika itu di ufuk timur fajar menyingsing, cahaya membersit
pertanda matahari akan segera terbit. Betapa leganya perasaan Dayang
Sumbi. Namun tidak bagi Sangkuriang yang sedang bekerja habis-habisan
menyelesaikan perahunya. Begitu melihat cahaya matahari membersit,
Sangkuriang marah dan kesal tiada bandingannya.
Dengan kemarahan dan rasa kesal yang memuncak, Sang kuriang menendang
perahu yang hampir rampung dibuatnya itu dengan rasa frusrtasi yang
mendalam. Maka jadilah Gunung Tangkubanparahu.
Laksana kilat, Dayang Sumbi berlari ke arah timur. Secepat kilat itu
pula Sangkuriang mengejar Dayang Sumbi yang terus berlari menghindari
kemarahan dan harapan Sangkuriang. Di sebuah bukit kecil, hampir saja
Dayang Sumbi tertangkap, namun Yang Maha Kuasa masih melindunginya. Nyai
Dayang Sumbi menghilang entah ke mana. Di bukit tempat menghilangnya
Nyai Dayang Sumbi tumbuh berbagai bunga yang mewangi, kini disebut
Gunung Puteri. Dapat ditafsirkan bahwa Gunung Tangkubanparahu lahir jauh
sesudah danau itu terbentuk!
Sasakala Sangkuriang yang sudah sangat tua umurnya, sudah dikenal
pada abad ke-15. Hal ini dapat dibaca dalam catatan Bujangga Manik,
tohaan, satria pengelana dari Pajajaran saat melintas di pinggiran
Cekungan Bandung bagian selatan. Bujangga Manik menulis, “Leumpang aing ka baratkeun, datang ka Bukit Patenggeng, Sasakala Sangkuriang, masa dek nyitu Citarum, burung tembey kasiangan” (lihat Teuw dan J. Noorduyn).
Cagar bumi
Sisa-sisa kedahsyatan letusan Gunung Sunda merupakan keragaman bumi/geodiversity
yang baik bila dijadikan laboratorium lapangan untuk pembelajaran bagi
para siswa dan mahasiswa. Di sana mereka bisa belajar tentang
pengangkatan daratan, pelipatan kulit bumi, kegunungapian, seperti
tentang: lava, bahan lepas, kekuataan letusan, sumbermata air panas,
patahan/sesar, gempabumi. Di sana juga bisa belajar paleontologi,
geohidrologi, pola aliran sungai, kesuburan lahan, pertanian,
peternakan, dan pemanfaatan bentang alam gunung api sejak zaman
megalitikum hingga kini, baik untuk kepentingan religi ataupun untuk
mengais rezeki dan rekreasi.
Apakah keragaman bumi Bandung ini akan dimanfaatkan dengan baik,
ataukah akan dihancurkan karena kelaparkuasaan dan kemegaserakahan?***
Oleh T.Bachtiar
Penulis, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar