Rabu, 31 Oktober 2012

Sejarah Danau Bandung purba

SUNGAI Citarum pernah dijadikan batas kerajaan-kerajaan wilayah di Tatar Sunda. Nama sungai ini diambil dari nama tanaman (nila). Daerah hulunya di Cisanti – Gunung Wayang, pernah dijelajahi satria pengembara Bujangga Manik (abad ke-15 atau ke-16). Saat melintasi kawasan Priangan ini, Bujangga Manik sudah mengenal dengan baik sakakala Sangkuriang kesiangan, seperti yang ia tuliskan dalam catatan perjalanan mengelilingi pulau Jawa dan Bali seorang diri.

Sungai ini mempunyai peran yang sangat penting dalam perkembangan manusia dan kebudayaan masyarakatnya. Secara alami, Bandung berada di kuali raksasa Cekungan Bandung.

Ke dalam cekungan ini mengalir sungai-sungai yang bersumber dari gunung-gunung yang berada di pinggiran kuali raksasa tersebut, lalu sungai itu berbelok mengalir ke arah Barat Laut, sesuai arah kemiringan wilayah ini.

Pinggiran Cekungan Bandung terdiri dari rangkaian gunung-gunung. Di utara, ada Gunung Burangrang, Gunung Sunda, Gunung Tangkuban Parahu, Bukit Tunggul, dan Gunung Putri. Sebelah timur ada Gunung Manglayang, di selatan ada Gunung Patuha, Gunung Tilu, Gunung Malabar, Gunung Mandalawangi. Di bagian tengah ada rangkaian gunung api tua, dan di barat dibentengi rangkaian bukit-bukit kapur Rajamandala. Bandung memang dilingkung gunung!

Ketika pantai utara (pantura) pulau Jawa masih di sekitar Pangalengan sekarang, cekungan Bandung masih berupa laut dangkal yang ditumbuhi binatang koral yang indah. Perbukitan kapur di Tagogapu – Rajamandala adalah salah satu buktinya. Terus terjadi proses pengangkatan kulit bumi, sehingga pantai utara pulau Jawa bergeser terus ke arah utara. Karena arah pengangkatan kawasan Bandung Raya ini berasal dari selatan, air akan mengalir ke Utara, termasuk aliran induk Citarum.

Saat Kala Pliosen, sekira 4 juta tahun yang lalu, terjadi kegiatan gunung api di selatan Cimahi, dibuktikan dengan adanya Pasir Selacau, Pasir Lagadar, dan lain-lain yang mengarah utara – selatan. Dengan lahirnya gunung api intrusif ini, aliran Citarum menyusuri kaki timur rangkaian gunung api tua ini, dan terus mengalir ke utara melewati Padalarang sekarang. Nantinya rangkaian gunung api purba ini menjadi Pematang Tengah yang memisahkan Danau Bandung Purba Timur dengan Danau Bandung Purba Barat.

Baru pada zaman kuarter kala Plestosen, lahirlah Gunung Sunda. Gunung api ini tingginya lebih dari 3.000 meter di atas permukaan laut (dpl.). Pada kala ini pula Gunung Sunda meletus dahsyat hingga membentuk kawah yang sangat luas (kaldera), disusul terjadinya patahan Lembang yang memanjang timur – barat sepanjang 22 km dari kaki Gunung Manglayang hingga sebelah barat Cisarua.

Bagian utaranya relatif turun sedalam 450 m, terutama di bagian timur patahan, sementara bagian selatan relatif tetap pada posisinya. Aliran Citarum berbelok ke Barat menyusuri sisi patahan yang sekarang dialiri Cimeta.



Mengisi patahan Lembang

Gunung Tangkuban Parahu meletus sekitar 125.000 tahun yang lalu dari sisi timur kaldera Gunung Sunda. Material letusannya sebagian mengisi patahan Lembang, dan sebagian lagi mengalir ke arah barat daya Bandung.

Letusan dahsyat berikutnya terjadi sekitar 55.000 tahun lalu. Material letusannya membanjir menutupi wilayah yang sangat luas hingga ke daerah Kopo dan Leuwigajah di selatan. Material gunung api yang luar biasa banyaknya itu telah membendung Citarum purba di utara Padalarang hanya dalam hitungan puluhan menit. Maka terbentuklah Danau Bandung purba.

Akibatnya, ada bagian Citarum yang hilang karena tertimbun material letusan, dan induk Citarum dari daerah yang terbendung ke hilir menjadi anak Sungai Citarum yang namanya berubah menjadi Sungai Cimeta. Sungai Cimeta bertemu kembali dengan Sungai Citarum.

Saat Bandung menjadi danau, kawasan ini sudah dihuni manusia. Hal ini terbukti dengan ditemukannya artefak dari batu obsidian yang berupa mata anak panah, mata tombak di atas garis kontur +712,5 dpl. yang bahan bakunya diambil dari Gunung Kendan di sekitar Nagreg, serta kerangka ngaringuk di Gua Pawon.

Pada saat Bandung menjadi danau raksasa, dan ketika air genangannya mulai bersentuhan dengan dinding perbukitan di sisi barat danau, sejak itulah air merembes di dinding danau dan membentuk mata air di bawahnya, yang kemudian menjadi salah satu anak Citarum purba.

Sekitar 18.000 tahun yang lalu, muka air laut turun sangat dalam, sehingga laut dangkal seperti Laut Jawa, Selat Sunda, Selat Malaka, dan Laut Cina Selatan menjadi kering, dan dasarnya bisa dilalui hewan dan manusia yang bermigrasi. Akibat dari susut laut ini, akan terjadi erosi ke arah hulu sungai yang luar biasa besarnya.

Inilah salah satu penyebab kuatnya erosi mudik yang mengikis hulu sungai hingga dapat membobol hulu sungainya di antara Puncaklarang dan Pasir Kiara, yang merupakan dinding barat Danau Bandung purba.

Akhirnya Danau Bandung purba mendapat penglepasan di celah-celah bukit tipis (hogback/pasiripis/lalangasu) antara Puncaklarang dan Pasir Kiara. Dengan bobolnya Danau Bandung purba barat.

Terowongan/sungai bawah tanah (Sangiangtikoro), ternyata bukan tempat bobolnya Danau Bandung purba. Terdapat perbedaan ketinggian antara 300-400 meter antara Sangiangtikoro dengan Puncaklarang dan Pasir Kiara sebagai bibir Danau Bandung purba yang mencapai ketinggian 712,5 meter dpl. (Budi Brahmantyo, 2001).

Derasnya aliran air Danau Bandung purba Barat telah mengikis ke arah hulu, dan menggerus dan menjebol celah Danau Bandung purba Timur di Curug Jompong. Setelah bekas danau Bandung purba menjadi kawasan basah, aliran Citarum memotong Pematang Tengah menuju arah Barat. Maka terjadi perubahan aliran sungai, yang asalnya anak sungai berubah menjadi induk Citarum.

Pada akhir abad ke 20, aliran Citarum di bagian tersempit di Selatan Rajamandala sengaja dibendung menjadi Danau Saguling untuk memenuhi kebutuhan energi listrik Jawa dan Bali. Akibatnya ada bagian Citarum yang tergenang danau, dan sungai di bagian hilir bendungan menjadi sungai, karena aliran air dari danau itu dialirkan melalui dua pipa luncur untuk memutarkan turbin di Pembangkit Listrik di sekitar Sangiangtikoro.

Perubahan aliran Citarum di Cekungan Bandung terus berjalan hingga kini. Pengelolaan lahan di hulu sungainya telah menyebabkan pendangkalan sungai dan danau begitu cepatnya. Nasib Citarum bertambah mengenaskan dengan pencemaran limbah industri yang sudah melampaui batas.
Apa yang akan terjadi kalau tiga danau yang berada di aliran Citarum terus mendangkal karena pelumpuran yang sangat tinggi? Akankah arah Citarum berbelok lagi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar