Selasa, 10 Januari 2012

Karel Albert Rudolf Bosscha

Siapa yang tidak mengenal Bosscha. Namanya demikian melekat dengan salah satu tempat kebanggan masyarakat Pasundan, Peneropong Bintang Bosscha di Lembang. Meski tidak sepopuler sebagai pendiri peneropong bintang, nama Bosscha tercatat sebagai administratur pertama Perkebunan Teh Malabar, salah satu perkebunan teh papan atas Indonesia milik PT. Perkebunan Nusantara 8.


 
Banting Stir
Warga s'Gravenhage Negeri Belanda boleh berbangga. Betapa tidak, Karel Albert Rudolf Bosscha yang lahir di tempat tersebut, 15 Mei 1865, telah menjadi salah satu legenda bangsa Indonesia. Bosscha lahir dari kalangan terpandang. Ayahnya, Prof. Dr. J. Bosscha Jr. Adalah ahli fisika, guru besar pada akademi militer kerajaan Belanda dan direktur pada politeknik Delf. Sebagai salah satu wujud kecintaannya kepada sang ayah, Bosscha tercatat sebagai mahasiswa di sekolah politeknik Delf. Selama masa kuliah, Bosscha dikenal sebagai sosok yang idealis. Idealismenya demikian kental. Karena ketidaksepahaman dengan pembimbingnya, Bosscha urung menyelesaikan ujian kesarjanaannya. Dalam usianya yang relatif muda, 22 tahun, Bosscha telah berani mengambil sebuah keputusan yang sangat arif. Untuk menutupi rasa kecewanya, pada tahun 1887 Bosscha merantau ke Indonesia dan mengawali kariernya sebagai pekebun teh dibawah bimbingan E.J. Kerkhoven, yang tiada lain adalah pamannya sendiri. Di Perkebunan Sinagar, Sukabumi lah Bosscha memulai hidup barunya. Tiga tahun kemudian, saudara sepupunya Ir. Rudolf Eduard Kerkhoven merintis Perkebunan Teh Malabar. Sejarahpun mencatat bahwa Ir. R.E. Kerkhoven sebelumnya telah berhasil membuka perkebunan teh di Gambung pada tahun 1873.


Mengelola dua perkebunan teh yang baru dirintis bukanlah perkara mudah. Menyadari hal tersebut, Ir. R.E. Kerkhoven akhirnya memutuskan untuk membagi tugasnya. Ia serius menangani Gambung, sementara Perkebunan Malabar yang baru saja dirintisnya diserahkan kepada Bosscha pada Bulan Agustus tahun 1896. Bimbingan sang paman selama 9 tahun serta mandat sepupunya ternyata membuahkan hasil yang memuaskan. Medan Perkebunan Malabar yang demikian berat, dengan elevasi 1500 m di atas permukaan laut ternyata tidak menjadikan Bosscha patah arang. Malah sebaliknya, Bosscha berhasil "menaklukan" Malabar.

Pencinta Alam
Kecintaannya kepada alam disebut-sebut sebagai kunci utama kesuksesan Bosscha dalam mengelola Perkebunan Teh Malabar. Kecintaan ini pulalah yang menyebabkannya sering merenungi alam. Setiap sore menjelang malam, ia senantiasa menelusuri kebun teh dan menyendiri disebuah tempat dimana gunung dan pemandangan alam bisa terlihat jelas disana. Bagi Bosscha, kecintaannya kepada alam adalah segalanya. Kecintaannya pada Malabar menyebabkannya berwasiat sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir bahwa ia ingin dikebumikan di tengah-tengah kebun Malabar, di areal hutan kecil yang dinamakannya "leuleuweungan". Sampai akhir hayatnya Bosscha tidak mempunyai istri.

Warga Utama Bandung
Sebagai seorang pekebun, Bosscha pernah menduduki jabatan ketua biro ahli bidang teh, ketua kebun percobaan, serta jabatan lain dibidang tanaman teh. Didalam istilah ukuran, Bosscha mempelopori penggantian istilah pal dengan kilometer dan bahu (Sunda=bau) dengan hektar. Perannya sebagai pencinta iptek dan sebagai sosiawan nampak pada peninggalannya, antara lain peneropong bintang (Bosscha Sterrenwacht) Lembang, Technische Hoge School (ITB) dengan laboratorium fisika, serta menjadi dewan kurator sampai meninggalnya, lembaga tuli bisu (Doofstommen Institute), Nederland Indische Jaarbeurs (sekarang gedung Kologdam), pendiri yayasan kanker, lembaga lepra Plantungan, perusahaan telpon untuk Bandung dan Priangan (Telefon Maatschappij Voor Bandung and Preanger), perusahaan listrik Bandung (de Bandungsche Electriciteists Maatschappi), pabrik alat-alat dari karet, perusahaan impor mobil serta sederet jabatan dan penasihat dalam berbagai bidang. Demikian diungkapkan pakar teh dan budaya sunda, H. Kuswandi Md, SH dalam tulisannya bertajuk Pionir Perkebunan Teh Gambung dan Malabar yang pernah dimuat di Pikiran Rakyat, edisi 12 Oktober 2001 lalu.

Selama 32 tahun masa pengabdiannya di perkebunan teh Malabar, Bosscha telah berhasil mendirikan dua pabrik teh, yaitu Pabrik Teh Malabar yang saat ini dikenal dengan nama Gedung Olahraga Gelora Dinamika dan juga Pabrik Teh Tanara yang saat ini dikenal dengan nama Pabrik Teh Malabar.

Pada tahun 1901 Bosscha mendirikan sekolah dasar yang diberi nama Vervoloog Malabar. Sekolah ini didirikan untuk memberi kesempatan belajar secara gratis bagi kaum pribumi, khususnya anak-anak karyawan dan buruh di perkebunan teh Malabar agar mampu belajar setingkat sekolah dasar selama empat tahun. Pada masa kemerdekaan, nama sekolah ini berubah menjadi Sekolah Rendah, kemudian berubah lagi menjadi Sekolah Rakyat, sampai pada akhirnya diganti lagi menjadi Sekolah Dasar Negeri Malabar II hingga saat ini.


Pada tahun 1923, Bosscha menjadi perintis dan penyandang dana pembangunan Observatorium Bosscha yang telah lama diharapkan oleh Nederlands-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV). Bersama dengan Dr. J. Voute, Bosscha pergi ke Jerman untuk membeli Teleskop Refraktor Ganda Zeiss dan Teleskop Refraktor Bamberg. Pembangunan Observatorium Bosscha selesai ilaksanakan pada tahun 1928. Namun ia sendiri tidak sempat menyaksikan bintang melalui observatorium yang didirikannya karena pada tanggal 26 November 1926 ia meninggal beberapa saat setelah dianugerahi penghargaan sebagai Warga Utama kota Bandung dalam upacara kebesaran yang dilakukan Gemente di Kota Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar