Selasa, 03 Januari 2012

Rutan Hatta dan Syahrir Terbengkalai

BANGUNAN tua di Jln. Bhayangkara 158 Kota Sukabumi itu tampak sepi. Tidak ada tanda-tanda keramaian di dalamnya. Pagar besinya yang sudah berkarat juga masih tertutup. Dari luar, bangunan tampak baik-baik saja. Namun, jika dilihat lebih dekat, cat tembok berwarna krem itu sudah banyak yang mengelupas. Atapnya tampak rapuh dan gen-tingnya sudah tua. Dari bentuknya, bangunan itu mirip rumah yang berjejer. Kini, menjadi bagian dari Kompleks Sekolah Calon Perwira (Seca-pa) Polri. Bedanya, di depan rumah itu tertancap papan putih dengan tulisan huruf kapi-tal semuanya, "Benda Cagar Budaya, Rumah Bekas Tahanan Bung Hatta dan Syahrir". Seorang wanita dari balik pintu keluar setengah berlari. Dia bergerak menuju pintu pagar di ujung taman depan rumah. Keramahan menyambut siapa pun yang datang. Lalu dia menyodorkan buku tamu seukuran folio untuk diisi. Pertanda tidak banyak yang datang. "Ya memang begini, sepi. Dalam satu bulan pengunjung tidak pernah lebih dari sepuluh orang. Januari lalu, tidak ada pengunjung sama sekali," kata Mulyani (38), tenaga honorer yang ditugasi
menjaga rumah bersejarah itu.
Menurut dia, minimnya pengunjung terjadi karena tidak ada yang bisa dilihat di bangunan cagar budaya yang dikelola Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Wilayah Kerja Provinsi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Lampung itu. Pengunjung praktis hanya bisa melihat bangunan, rumah yang dibagi dua, dipisahkan dengan sekat tembok permanen. Pembagian itu mulai dari ruang depan hingga ke dapur belakang. Dulu, bagian timur ditempati Sutan Syahrir, sedangkan bagian barat digunakan Mohammad Hatta bersama keluarga. Di dalam bangunan, hanya terdapat foto-foto lawas kedua tokoh itu, dan Soekarno
(Presiden pertama RI) serta satu set kursi.
"Tidak ada buku atau bahari bacaan. Seharusnya ada peralatan atau benda-benda sejarah lain yang bisa dilihat. Di meja ini ada tulisan radio, tetapi radionya tidak ada," ucap Mulyani.
Padahal, bangunan itu menyimpan sejarah penting. Rumah tersebut digunakan untuk menahan Hatta dan Syahrir pada 1942. Sebelum dipindah dari Banda Naira ke Jakarta, mereka ditempatkan dulu di Sukabumi selama 3,5 bulan. Hatta dan Syahrir terkesan dengan Sukabumi yang asri. Bahkan Hatta menyebut keberadaannya di Sukabumi merupakan masa terindah dalam hidupnya, seperti dimuat dalam buku Memoar Moham-mad Hatta karya anaknya, Meutia Hatta. Di sana pula keduanya bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan yang memberikan sumbangan pemikiran untuk kemerdekaan Indonesia.
Tak ada tanggapan Soal kesulitan dana, Mulyani sudah menyampaikan persoalan itu ke balai. Namun, sampai saat ini belum terealisasi. Alasannya, dana belum mencukupi.
Pendanaan rupanya menjadi persoalan penting dalam pemeliharaan cagar budaya. Menurut Mulyani, selama ini balai tidak memberi uang operasional untuk perawatan gedung bersejarah ini. "Kalau hanya untuk bersih-bersih, saya sendiri yang membersihkan. Namun, kalau perlu ada perbaikan genting atau ada yang perlu diperbaiki, ya saya panggil tukang," tuturnya.
Ongkos perbaikan diambil dari honor yang dia terima setiap tiga bulan. Biasanya, dia menerima honor sebesar Rp 400.000 per bulan. Honor itu dirapel setiap tiga bulan. H07 nor yang seharusnya menjadi upah atas kerjanya itu terpaksa digunakan untuk perawatan. Persoalan ini sudah diketahui Dinas Pemuda, Olah Raga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporabudpar) Kota Sukabumi. "Kami usul ke provinsi dan pusat, tetapi belum ada tanggapan. Kami usul terus-menerus sampai bosan," kata Kepala Disporabudpar Kota Sukabumi Beni Haerani.
Keterbatasan anggaran Pemerintah Kota Sukabumi menyebabkan pemerintah setempat belum bisa menyokong penuh biaya operasional cagar budaya itu, sehingga belum ada perbaikan signifikan yang bisa dilakukan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar